Posts Tagged ‘#Adik’

JADILAH

Posted: July 17, 2011 in puisiku
Tags: , , , ,

16 oktober, 2009

Jadilah

Engkau seperti Mawar

Kian rekah, kian indah, tanpa nista

 

Jadilah

Engkau layaknya Melati

Tambah putih, tambah wangi, tanpa duri

 

Jadilah

Engkau seperti Bulan

Makin malam, makin menawan, memaknai kegelapan

 

Jadilah Engkau seperti Adik ku sayang

 

 

-…-

By : P.R

SURAT WASIAT

Posted: July 14, 2011 in puisiku, Story Of Life
Tags: , , , , ,

Untuk anak cucu ku, jika kelak kau berbapak dan berkakekkan ku. Wasiat ku, jadikan arah dalam langkah mu.

Ibuku adalah seorang Wanita dengan riwayat perjuangan hidup yang panjang, keras dan berat, yang Ia jalani dengan tabah hingga sekarang.

Ayah menikahi Ibuku sebagai Isteri ke dua dari tiga isteri yang Ayah nikahi secara resmi. Poligami.

Ketika Aku tanya mengapa Ibu mau menjadi Isteri ke dua dan bahkan mengijinkan Ayah menikah lagi dengan Isteri ketiga setelah Ibu, dengan tulus dan penuh kejujuran dia menjawab,…” Aku terlalu mencintai Ayahmu, hingga aku rela dan ikhlas menjadi isteri kedua, dan Aku begitu menghormati Ayahmu, hingga Aku ijinkan Ayahmu menikah lagi dengan Isteri ke tiga, karena Aku tak mau Ayah mu berjinah, dan Aku begitu menyayangi kalian, anak-anakku, hingga Aku tak sanggup membiarkan Kalian hidup tanpa Ayah..” begitu kata-katanya, terdengar begitu jujur apa adanya.

Yah. Ayahku, pria penganut poligami, memiliki 3 wanita sebagai isteri yang Ia nikahi secara resmi. Dari Isteri pertama Ayahku mendapat 2 orang putra dan 1 orang putri.

Dari Ibuku, Lahir 2 orang putra dan 2 orang putri.

Sementara dari Isteri ketiga, Ayah mendapat 1 putra dan 1 putri.

Poligami, meski kerap di ecap sebagai sebuah tindakan tak beradab, Aku dengan teriak menolak! Aku lahir dari kerahmatan berpoligami, tak pernah kusesali, tak sedikit ku syukuri. Meski Aku tak berharap banyak orang lain menyetujui pendapatku ini.

Mutlak Ibuku harus rela berbagi jatah kebutuhan belanja dan kebutuhan menghalalkan senggama bersama ke dua Isteri yang lain.Karena jatah yang sanggup di penuhi Ayah tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kami berempat, maka Ibu memutuskan untuk bekerja, siang dan malam, membanting tulang dan memeras keringat, demi membantu suami mencukupi kelayakkan hidup kami, anak-anaknya.

Mulia sungguh Engkau..

Di setiap nama dan julukan mu

Di semua ucap dan laku perbuatan mu

Dan bahagia ku.., terlahir dalam kemuliaan mu

Ibu bekerja sebagai apapun yang sanggup dia lakukan.Mulai dari bekerja sebagai Pembantu rumah tangga, Penjaga dan Pengurus bayi, Buruh cuci baju, Tukang cuci piring di warung makan, Penjual nasi bungkus di pinggir rel kereta api, Penjual asongan rokok di terminal angkutan umum, menjadi kondektur bus angkutan umum, Tukang sapu bersih-bersih di toko, Buruh angkat barang di pelabuhan, hingga bekerja berebut peluang bersama buruh laki-laki demi mendapat giliran mengorek besi-besi tua dan menjualnya ke pedagang asongan.

Semua pekerjaan berat yang umumnya hanya pantas di lakukan oleh kaum bapak-bapak( lelaki), Ibu lakukan juga tanpa mengeluh. Ikhlas penuh. Seluruh. Utuh.

Untuk mu..

Tiada setara ku dapat memberi

Atas tetes keringat tiada henti.., hingga rambut mu memutih

Atas kasih tak harap balas.., hingga kerut wajah mu nampak jelas

Tak Jarang ibuku harus berdesak-desakan, beradu otot( meski umumnya wanita kebanyakan berfitrah tak berotot) dengan kaum pria demi mendapat peluang mendapat pekerjaan guna mencukupi kebutuhan hidup dan sekolah kami.

Hampir setiap malam kami tidur di rumah tanpa belai kasih sayang seorang Ibu, karena Ia harus bekerja siang dan malam, tak jarang Ibu tak pulang 3 hingga 5 hari bahkan 1 minggu lamanya.

Ibu hanya pulang untuk memberi uang belanja dan uang sekolah padaku, kemudian istirahat sebentar lalu kembali harus pergi untuk bekerja.

Sebuah gambaran perjuangan hebat di lakukan Seorang Ibu demi anaknya.

.. tentang mu..

Yang tak mampu tertidur pulas, sebelum cita dan asa ku

tergapai puas

Yang teteskan airmata teramat lirih, saat harapku

tak terbalas nyata

Yang tegar berdiri di barisan terdepan dalam membentuk

peradaban

Aku tulus mencintaimu.

Tak peduli hujan badai, petir menggelegar, panas terik menyengat, lelah menggelantungi badan begitu dahsyat, Ibuku tak gentar menghadapi semuanya, semua derita, kepedihan dan keletihan ia tanggung demi menafkahi kami anak-anaknya.

… pada mu…

Yang ikhlas pertaruhkan hidup, demi anak mu

Yang curahkan kasih dalam setiap alir darah ku

Yang menuntun ku dalam Doa, di setiap langkah hidup ku

Yang tetap mendekap ku hangat

Meski harus mengusung sengat Matahari di kepala

Dan berjalan letih tertatih di atas lautan bara

Aku ikhlas ‘kan berbakti

Meski Ia harus berpisah dan jarang menghabiskan waktu bersama anak-anak yang begitu sangat Ia cintai, Ibu ku tetap saja tak pernah berhenti berjuang dan selalu menampakkan senyum ketegaran di depan kami.

Ibu..,

Yang selalu ada menyelimuti ku

Kala malam, badai datang menggangu tidur ku

Yang tetap membuka lebar peluk mu

Saat seluruh dunia menutup pintu untuk ku

Yang tetap melukis senyum di wajah mu

Meski lara dan duka menghujam dalam hati mu ketika sibuk ku, harus tinggalkan mu sepi sendiri

Engkau sungguh karunia ku

Untuk mu, tentang mu, pada mu…, Ibu

Ku mohon kan pada Tuhan

Cintai, sayangi naungi Ibu ku dengan ridho-MU

Tempatkan dalam taman abadi syurga-MU

Bisikan tulus bait doa ku pada mu…

“ Aku dan seluruh diri ku akan selalu mencintai mu.., Ibu!”

Tahun 1995, Ayahku jatuh sakit akibat komplikasi penyakit Ginjal,Jantung, Kencing Manis, dan Asma ( penyakit ini di turunkan secara genetika kepadaku hingga sekarang). Kondisi ini menyebabkan Ibuku harus berjuang lebih keras lagi dengan memikul tanggung jawab harus menafkahi kami anak-anaknya sekaligus membantu biaya pengobatan penyakit Ayahku.

Keadaan Ayah yang jatuh sakit ini, ternyata tak sanggup di pikul oleh Isteri Ayah yang ke tiga, dia memutuskan bercerai dan meninggalkan Ayahku dalam keadaan sakit.

Tanggal 9 September 1999, Ayahku meninggal dunia, Lelaki dengan 3 Isteri dan 9 anak ini harus menutup mata selamanya kembali kepada Tuhan, dengan kepedihan dan isak tangis dari kami keluarga yang sangat menyayanginya.

“Kidung Sunyi Berbutir Bening” mengalun pilu.

Kenyataan pahit ini sangat menyedihkan, bagi kami, lebih-lebih bagi Ibuku, wanita yang begitu sangat mencintai dan menghormati Ayahku, hingga Ia Ikhlas dan rela membagi cinta dan kasih sayang dengan wanita lain, atas nama cinta tulus pada Ayahku.

Namun, kepedihan dan kesedihan itu tak menyurutkan semangat perjuangan hidup Ibuku.

Justru dengan meninggalnya Ayahku, membuat Ibu memompa semangat lebih besar lagi untuk berjuang demi kami anak-anaknya.

Kerap kali ku temukan Ibu mulai menunjukan tanda-tanda kelelahan yang sangat nampak, dengan seringnya Ia batuk, hingga ku dapati, sekali waktu Ia batuk mengeluarkan darah kental, yang ku yakini di sebabkan karena Ibuku harus bekerja di lokasi penuh debu dan kotoran serta polusi yang membahayakan pernapasannya, namun ketika ku coba untuk mengajaknya istirahat dan pergi berobat ke dokter, Ibu bersikeras mengatakan bahwa Ia baik-baik saja, bahwa ia tak perlu beristirahat apalagi berobat ke dokter, Ia menganggap berobat ke Dokter hanya menghabiskan uang saja. Ibuku…, kolot, pemberani.

Begitulah Ibuku, wanita keras kepala dengan pendirian kuat, meski ku tahu jauh di dalam tubuh ringkihnya kini, Ia merasakan kelelahan yang teramat sangat, namun Ia selalu menampakan kesan kuat dan tegar, agar kami juga bisa menjadi tegar menjalani hidup sebagai Yatim, tanpa Ayah. Berkasih sayang sebelah.

Tahun 2002, aku menyelesaikan sekolah menengah atas dengan baik.Aku lulus dengan predikat nilai memuaskan, sebuah pencapaian akademik yang Kakak lelaki ku tak mampu penuhi.

Yah, Kakak lelaki ku, anak tertua dari pernikahan mendiang Ayah dan Ibuku, cenderung nakal dan tidak cukup berhasil dengan pelajaran di sekolah. Kakakku terpaksa tidak meneruskan sekolah menengah pertamanya karena terlibat pergaulan nakal dengan teman-temannya.

Tepat 1 bulan sebelum ujian terakhir kelulusanku, Kakakku terlibat masalah dengan polisi, Kakakku di tahan di kantor polisi karena tertangkap basah mencoba mencuri rel besi bekas kerata api yang sudah hampir 10 tahun tidak lagi terpakai, lunglai terbengkalai.

Ketika Aku dan Ibuku menjenguk Kakakku di kantor polisi, dan menanyakan kenapa dia bisa berbuat hal memalukan dan bodoh itu, dengan jujur dan berlinang airmata, Kakakku menjelaskan, bahwa Ia terpaksa melakukan perbuatan mencuri itu, karena Ia ingin membantu membiayai uang syarat ujian terakhirku, agar aku bisa mengikuti uiian terakhir dengan tenang tanpa harus memikirkan biaya ujian. Kakakku beranggapan setidaknya Ia ingin melakukan sesuatu yang berguna untuk ku, adiknya, karena jauh di dasar hatinya Ia sangat menyayangiku dan bangga akan kecerdasanku.

Sebuah pengakuan jujur, yang meski di lakukan dengan cara yang salah, namun niat itu begitu tulus, membuat ku tak sanggup menahan airmata tak terperihkan.

Bahwa demi kelulusanku, demi pendidikanku, ada Ibu dan Kakakku yang rela menempuh penderitaan dan kepedihan, demi rasa sayang dan harapan yang mereka letakkan di pundakku, bahwa kelak aku akan mampu memberi kebanggaan keluarga, bahwa kelak ketika aku lulus sekolah aku mampu merubah nasib keluarga ini, bahwa kelak aku mampu membiayai sekolah adik-adik ku hingga ke bangku kuliah,,,bahwa kelak setiap tetes keringat dan airmata yang pernah ada dari perjuangan Ayah, Kakak serta Ibuku tidak menjadi sia-sia.

Bahwa kelak, perjuangan dan pengorbanan tanpa henti yang pernah di lakukan oleh Ayah, kakakku, terlebih oleh Ibuku, akan mampu ku balas dengan baik.

Begitulah, setelah lulus sekolah dan mengantongi nilai akademis cukup baik, aku bertekad kuat untuk mendapat pekerjaan dan menggantikan tugas Ibu bekerja, hingga aku bisa membuat Ibuku beristirahat di rumah menikmati masa tuanya dengan baik. Alhamdulillah, Syukur Puji tak pernah bertepi kepada Tuhan, Sang Pengatur Segala Penderitaan dan Kebahagiaan, tak perlu lama menunggu, akhirnya aku mendapat pekerjaan cukup layak, baik dan pantas di sebuah pabrik perakitan motor terkenal di Indonesia.

Berpenghasilan 2 juta rupiah per bulan, sungguh sebuah pencapain luar biasa untukku, kala itu. Dengan berbekal pekerjaan dengan penghasilan baik itu, akhirnya ku berusaha meyakinkan Ibu untuk berhenti bekerja, membiarkan aku yang mengambil tanggung jawab tersebut, demi Ibu, Kakak, dan kedua adikku yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama itu.

Syukurlah, aku mampu meyakinkan Ibu untuk berhenti bekerja dan menghabiskan waktu tua nya dengan melakukan hal-hal yang selayaknya di lakukan oleh seorang Ibu sedari dulu, seperti membersihkan rumah, memasak makanan untuk anak-anaknya, mencuci baju, dan sebagainya. Hal-hal yang kodrati, tak mampu di lakukan Ibuku karena tuntutan bekerja menafkahi kami, anak-anaknya.

Tanggal 21 February, 2004, tragadi terjadi. Lagi. Kakak ku meninggal akibat kecelakaan sepeda motor di jalan. Mati mereggang nyawa di senja dini.

Hari itu kembali..,

Kidung sunyi berbutir bening, bersenandung lirih

“ Pesiar kini tanpa Nakhoda dan Sauh di Samudera “

Anak tertua dari pernikahan Ayah dan Ibuku ini, meninggal di Usia 27 tahun, meninggalkan luka dan kepedihan yang teramat sangat bagi kami adik-adiknya, terlebih bagi Ibuku. Kehilangan anak sulungnya benar-benar membuatnya terpukul. Meski perangai dan kelakuan anak pertamanya itu kerap kali mengembang kempiskan detak jantungnya, namun bagaimanapun, dia adalah anak lelaki pertama yang Ia lahirkan hasil buah kasih sayangnya bersama Ayahku.

Apapun keadaannya, anak pertama selalu mendapat tempat khusus di hati seorang Ibu. Hal inilah yang kufahami, yang menyebabkan kepedihan teramat dalam pada Ibuku.

Berbulan-bulan lamanya Ibuku murung dan sedih, nafsu makan hilang, semangat hidup berkurang, bahkan Ibuku tak lagi berkeinginan berkomunikasi dengan baik kepada kami. Hanya kepedihan, kesedihan dan luka yang tampak dari wajah ibuku. Keadaan ini membuat berat badannya menurun dengan drastis, sakit mulai menghampiri Ibuku perlahan-lahan.

Butuh waktu tidak sedikit untuk membuat Ibuku kembali normal, namun dengan kesabaran dan ketulusan, akhirnya aku dan kedua adik kecilku mampu perlahan-lahan mengembalikan semangat hidup Ibuku.

Ibuku berujar, sesungguhnya kehilangan suami karena kematian sudah cukup membuatnya seperti merasa setengah mati, hanya karena demi kami, anak-anaknya lah Ibuku bersemangat untuk tetap hidup, mendampingi kami memasuki kehidupan yang sebenarnya kelak saat kami dewasa. Namun kembali kehilangan sesuatu yang sangat berharga untuk kedua kali dalam hidupnya sungguh membuatnya ingin mengakhiri hidup seketika. Namun beliau tersadar bahwa Ia masih lagi memiliki kami, ke tiga anaknya yang masih tersisa, yang masih membutuhkan perhatian, nasehat, petuah dan kasih sayangnya untuk membekali kami dalam kehidupan ini. Dengan kesadaran itulah akhirnya Ibuku kembali bangkit dari kesedihan teramat dalamnya.

Hari demi hari berlalu semenjak peristiwa meninggalnya Kakakku tercinta. Kami terus berusaha menjalani hidup kami dengan tetap menyimpan semua kenangan indah kakakku selama masa hidupnya.

“ Pesiar tetap harus berlayar, walau hilang satu haluan

Kami harus tetap sampai di dermaga tujuan

Meski dayung harus di kayuh hanya dengan sebelah tangan”.

Hidup di Jakarta, ternyata benar-benar penuh godaan dan menjanjikan segala pesona kesenangan yang tidak mudah di tolak atau di hindari.

Hal ini tak ayal, berlaku juga pada ku.

Aku terjebak dan terpedaya akan kesenangan dan kenikmatan kota yang begitu menggoda. Perlahan namun pasti aku mulai menjauh dari keluarga, Ibu dan kedua adik-adik kecilku. Aku mulai sering keluar malam bahkan tidak pulang ke rumah, asik dengan kesenangan dunia malam yang memabukkanku dalam minuman keras, narkotika dan sex bebas.

Hancur lebur terkubur di lumpur!

Sesuatu yang memang belum pernah ku rasakan semenjak Ibu harus bekerja siang malam dan meninggalkan ku dalam tanggung jawab menjaga dan mendampingi kedua adik kecilku di rumah.

Memasak, mencuci baju, membersihkan rumah, dan menjaga tidur mereka agar tetap lelap tanpa gangguan, adalah tanggung jawab yang harus ku pikul semenjak usia dini. Bahkan menjadi remaja yang penuh keceriaan, bercanda dan melakukan hal-hal ceroboh di masa remaja pun tak mampu aku rasakan, hampir seluruh waktu remaja ku habiskan dengan membaktikan diri pada adik-adik kecilku yang masih sangat mungil dan belia. Karena hal inilah, yang pada akhirnya membuat ku seolah terpana dan terpedaya untuk merasakan kesenangan dan kenikmatan yang seharusnya bisa kurasakan sewaktu ku remaja.

Aku mulai lepas kendali, berteman dengan dunia malam, dengan segenap hiruk pikuknya membuat aku melupakan keluargaku. Aku mulai tak lagi memperdulikan mereka, seluruh hasil penghasilanku bekerja ku habiskan begitu saja untuk bersenang-senang dengan narkotika, aku tak pernah lagi perduli akan Ibu dan kedua adikku yang masih sangat membutuhkan biaya sekolah. Sikap ku ini membuat Ibuku lagi-lagi terpukul dan mau tidak mau harus berbuat sesuatu demi adik-adikku yang masih sangat belia tersebut.

Kembali Ibuku memutuskan untuk bekerja dan mencari penghasilan untuk membiayai hidup dan sekolah adik-adikku.

Sementara aku tengah asik tergoda dalam kehidupan penuh dosa di Jakarta, Ibuku harus kembali bergelut dan bertarung dengan kejamnya hidup. Segala macam jenis pekerjaan lagi, kembali Ia lakukan demi mendapat uang, bahkan di usianya yang tak lagi muda dengan tubuh yang sudah ringkih, peyot, renta dan sakit-sakitan, Ibu tetap saja tak mau menyerah, Ia tetap berjuang.Dengan sekuat tenaga membagi waktu antara menunaikan tugas sebagai Ibu rumah tangga, memasak, mencuci, membersihkan rumah serta membesarkan kedua adikku di rumah, Ibuku juga harus tetap menyisihkan sisa-sisa kekuatannya untuk bekerja sebagai tukang cuci baju dari rumah ke rumah, penjaga bayi, dan pekerjaan lainnya. Ibu lakukan itu semua ketika kedua adikku sekolah, dan kembali kerumah saat mereka selesai sekolah.

Begitu setiap hari, tanpa henti, tanpa mengeluh, tanpa menggugat, tanpa pernah putus asa Ia lakukan demi kecintaan pada anak-anaknya.

Sesekali Ibu berusaha untruk menemuiku dan mencoba menasihatiku untuk pulang dan menghindari kehidupan yang salah itu, namun sesering itu pula aku membantah dan acuh pada nya. Tak jarang aku justru mengusir dan menyuruhnya menjauhi kehidupanku…..( sebuah sikap yang seumur hidupku akan selalu kusesali…).

Penolakan – penolakan kasar dan kata – kata tidak sopan sering sekali terucap dari mulutku, namun Ibuku tetap saja tak pernah merasa sakit hati atau marah, melaknat atau mengutukku sedikitpun.

Ibuku menganggap aku hanya lupa sesaat, Ia begitu sangat yakin suatu saat aku akan sadar dan kembali ke rumah untuk bersama-sama memperbaiki kehidupan kami sekeluarga.

Sungguh sebuah ketabahan dan kesabaran yang luar biasa tak terbantahkan.

Setiap saat setiap waktu setiap tarikan hembusan nafasnya, Ibuku tak pernah berhenti berdoa.

Di setiap sujud malamnya yang panjang, Ibuku selalu memanjatkan doa dan harapan memohon belas kasih Tuhan untuk memaafkan dan menyadarkan ku kembali ke jalan yang benar.

Terbukti, kesungguhan dan kasih sayangnya sanggup meluluhkan hati setiap malaikat di langit dan di Bumi. Dengan Kewelas asihan-Nya, Tuhan memberiku cobaan dan teguran yang sangat besar yang akhirnya mampu menyadarkan ku bahwa jalan yang ku tempuh adalah kesalahan.Mutlak!

Pemegang saham sukma

Terlalu banyak dusta

khianat

Hadirkan kekerdilan jiwa..

Masih pantaskah mensujudkan kepala

Aku terlilit hutang karena seluruh penghasilanku habis kugunakan untuk membeli narkotika. Aku di berhentikan dari pekerjaan karena produktifitasku bekerja turun drastis, sering kali aku tak masuk bekerja karena semalam suntuk bergumul dengan zat adiktif di Diskotik. Hutangku kian lama makin besar dan semuanya menagih untuk di lunasi, hingga puncaknya.., aku tertangkap dalam razia polisi untuk narkotika dan minuman keras.

Mereka menangkapku tertangkap tangan mengkonsumsi barang haram tersebut.

Mereka menahanku di penjara.

Senyum

Bahagiaku sesaat

Berganti,

Hujaman duka memeluk erat.

Sebuah kenyataan pahit yang harus di terima oleh Ibuku.

Kabar aku di tahan polisi dengan kasus memalukan membuatnya sangat terpukul. Selama ini Akulah yang di mata keluarga dan tetangga-tetangaku di anggap sebagai kebanggaan keluarga, namun kini justru membuat malu nama baik keluarga dengan tertangkap dan di tahan di sel karena kasus Narkoba.

Dengan perjuangan yang gigih dan menempuh segala cara akhirnya Ibuku mampu mengeluarkanku dengan jaminan di kantor polisi, sebuah usaha yang gigih dan tidak mudah, namun dahsyat dan mulianya kekuatan cinta Ibu tak mampu di batasi dengan kokohnya jeruji besi. Bahkan perkasanya tembok cina sekalipun, tak kan mampu mengahalanginya.

Semenjak peristiwa memalukan itu, aku kemudian bertekad dengan sungguh-sungguh untuk melakukan yang terbaik untuk keluarga ku yang ku cintai dan ku sayangi.

Pemilik aset Ruh…

Terlambat sadar akan salah

Dosa

Kian menghinakan diri…..

Hingga malu menengadahkan jemari

Meski tahu DIA satu…, sang empunya segala

Meski sadar DIA selalu.., memberi semua

Kalau masih bisa, ingin bersihkan noda

Bilapun masih mampu, ijinkan ku dharma hidupku

Tuk sekedar dapat di akui, aku masih hamba-MU

Aku memutuskan meninggalkan Jakarta dengan bekal restu dan ijin serta Doa tulus keluargaku, ku tinggalkan Jakarta demi mencari pekerjaan yang lebih baik dengan lingkungan yang lebih aman untukku, jauh dari suasana gegap gempitanya kota Jakarta. Aku pergi menemui rekan ku di Surabaya yang kemudian memberiku akses bantuan untuk bisa pergi ke Bali, dan berjuang mendapat pekerjaan di Bali.

Syukur kepada Tuhan, segala langkah yang ku tempuh guna bisa mendapat pekerjaan yang baik di Bali, di kabulkan oleh Tuhan. Aku mendapat pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan keinginan ku di Bali.

Bali memberi ku kesempatan untuk membuktikan kemampuan diri dan keterampilan yang ada padaku dengan maksimal. Mereka memberiku kesempatan untuk menunjukan bahwa aku mampu dan bisa bekerja dengan profesional dan bertanggung jawab.

Masa- masa produktif kulalui dengan baik di Bali. Aku kemudian mampu secara berkesinambungan menghidupi aku dan Keluarga ku di jakarta. Meski harus berpisah dengan jarak ribuan kilo meter dan menahan rasa rindu yang teramat sangat pada keluarga, namun aku harus menerima kenyataan ini, demi mereka yang kusayangi, agar mereke mendapat penghidupan yang layak dan baik. Aku hanya ingin memberi yang terbaik di sisa hidupku yang singkat ini, untuk keluarga yang sangat menyayangiku sepenuh hati mereka.

Aku rela membiarkan diriku hidup dengan serba keterbatasan disini asal mereka di sana bisa hidup dengan layak dan baik. Karena bagiku, merekalah satu-satunya alasan aku mampu bertahan hidup dengan segala kenyataan pahit yang ada .

Merekalah tujuan aku bertahan hidup.

Demi merekalah aku terlahirkan di dunia ini.

Mungkin bagi sebagian orang hal ini terlalu naif dan terlalu di dramatisir, tapi sungguh, aku hanya ingin mereka bahagia. Aku hanya ingin mereka mendapatkan kebahagiaan yang memang seharusnya mereka dapati dariku, anak lelaki tertua dan kakak satu-satunya bagi mereka.

Bila di suatu hari aku sudah tak ada lagi di dunia ini, ku harap tulisan ini mampu mewaikili perasaan ku, betapa aku mencintai dan menyayangi keluarga ku dengan segala baik dan buruknya aku.

Dan padamu, padanya, pada mereka

Ketika baris kata ini terbaca,

Sungguh ku ingin memberi indah di akhir cerita

Sungguh….

Mungkin tak banyak wasiat berbentuk barang berdefinisi harga yang mampu ku tinggalkan, segenap baris kata ini sanggup ku haturkan untuk mewakilinya.

Untuk anak cucu ku, jika kelak kau selesai membaca

Wasiat ku, jadikan arah dalam langkah mu

Tebar rata wasiat ku ini

Padanya, pada dia dan pada mereka semua

Agar kelak mereka tahu

Aku yang menulis ini.., dulu pernah ada.

Arie p’r/Tohir